Kadiran

Kemarin kami bertandang ke Kendawi. Satu desa yang indah, berada di satu bukit di kelilingi oleh sungai. Kendawi pada masa kerajaan Linge masa lalu merupakan Kejurun, istilah provinsi kala itu.

Perkampungan yang apik. Sepanjang kami melintas sekumpulan orang tua berkumpul, bercerita. Sepeda motor yang kami tunggangi juga terpaksa harus berjalan pelan dan mawas. Acap ayam-ayam milik warga berkeliaran bebas. Mengingatkan Saya masa-masa kanak dulu. Dulu, semua desa sama seperti Kendawi.

Adalah Kadiran aman Alir yang menjadi tujuan perhentian kami di Kendawi. Sosok ramah, humoris dan berwawasan yang melekat pada Bapak Kadiran patut Saya angkat salut. Semua informasi yang menjadi bahan pembicaraannya hanyalah bersumber dari radio. Stasiun radio yang hanya satu di Gayo Lues ini menjadi satu-satunya tumpuan mata air informasi bagi Kadiran.

Kami dijamu dengan kue-kue kering dan cangkir-cangkir kopi. Disela-sela cerita kami yang tak berjudul, sesekali datang seorang-seorang menyalami kami. Menyimbolkan maaf di hari Fitri sekaligus sebagai penyambung eratnya silaturahmi.

Dalam ceritanya, raut wajah Kadiran terlihat bahagia. Rumah beliau yang tampak baru ini beliau ceritakan bagaimana upaya mendirikannya. Menebang kayu di hutan, mengurus izin (menurut saya lebih disebut "mengurus maaf") penebangan setelah beliau menggotong lembar demi lembar papan untuk dinding rumah ini.

Kadiran juga menceritakan bagaimana anak laki-lakinya yang kedua, berbadan tambun, "sudah agak ke kota-kotaan, lihat saya kalungnya itu. Sepatutnya di ukir namanya, agar kalau hilang mudah mencarinya" begitu canda Kadiran kepada kami. Beliau ceritakan bagaimana anak tembunnya itu jika tidur malam hari jatah tikar untuk anaknya sendiri. Mengingat badannya yang gempal.

Disini saya tertafakur, alangkah mudahnya MERAIH KEBAHAGIAAN itu. Amat paradoks dengan kehidupan orang lain di gedung sana. Yang mungkin ketika kami bersilaturahmi ke Kendawi, mereka juga sedang "bersilaturahmi" kepada atasannya. Mungkin bagi mereka isitilah lobi, proyek, merek mobil, tambah rumah adalah tak pernah cukup. Namun disini, di Kendawi, di Rumah Kadiran ini, di atas tikar yang kami duduki ini yang di malam hari adalah tempat tidur bagi keluarga Kadiran, kebahagiaan mereka rengkuh dengan rasa syukur dari apa yang mereka miliki saat ini.

Saya kembali belajar cara untuk berbahagia itu ternyata amat mudah. [] Tulisan ini juga dimuat di akun twitter @lovegayolues
Powered by Telkomsel BlackBerry®